Jumat, 30 Desember 2011

Perbedaan Pola Asuh Kebudayaan Sunda dan Kebudayaan Minangkabau

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang Masalah
Indonesia merupakan negara dengan beribu-ribu kebudayaan. Perbedaan budaya inilah yang menjadikan orang berbeda pula. Dengan tradisi dan pola asuh yang berbeda di setiap suku akan melahirkan manusia dengan karakternya tersendiri.
Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengetahui perbedaan pola asuh kebudayaan sunda dan pola asuh kebudayaan minangkabau. Dengan beberapa indikator, yaitu:
1. Pola asuh memilih jodoh
2. Pola asuh menentukan profesi
3. Pola asuh ekonomi
4. Pola asuh menentukan tujuan hidup
5. Pola asuh pendidikan
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola asuh antara keluarga yang berkebudayaan sunda dengan keluarga yang berkebudayaan minangkabau.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini, kami menggunakan metode wawancara.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pola asuh Secara etimologi, pola berarti bentuk, tata cara. Sedangkan asuh berarti menjaga, merawat dan mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik. Jika ditinjau dari terminologi, pola asuh anak adalah suatu pola atau sistem yang diterapkan dalam menjaga, merawat dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif atau positif (Ghofur dkk : 2009).
Sedangkan pola asuh menurut Darling (1999) adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.
Sedangkan menurut Huxley (2002) pola asuh merupakan cara di mana orangtua menyampaikan / menetapkan kepercayaan mereka tentang bagaimana menjadi orangtua yang baik atau buruk.
Sementara itu Gunarsa (1995) bahwa pola asuh merupakan cara orangtua bertindak sebagai orangtua terhadap anak-anaknya di mana mereka melakukan serangkaian usaha aktif.
Menurut Suardiman (1983) memberikan pengertian bahwa pola asuh adalah cara mengasuh anak, usaha memelihara, membimbing, membina, melindungi anak untuk kelangsungan hidupnya.

Kebudayaan Minangkabau

Suku Minangkabau atau Minang atau seringkali disebut Orang Padang adalah suku yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Suku ini terutama terkenal karena adatnya yang matrilineal walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam.Suku Minang terutama menonjol dalam bidang perdagangan dan pemerintahan. Kurang lebih dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan.Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta,Bandung, Pekanbaru, Medan, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini, populer dengan sebutan, masakan Padang sangat terkenal.

seorang anak laki-laki minang, surau tidak hanya berfungsi sebagai rutinitas religi namun surau juga merupakan sebuah tempat “education” bagi laki-laki minang dan juga tempat bergaul sesama besar. Ada pepatah yang menyatakan bahwa “laki-laki Minang itu ibarat abu diatas tunggul, jika datang angin berhembus maka angin tersebut akan membawa abu tersebut terbang”. Begitu pulalah seorang laki-laki Minang mereka akan pergi merantau kemana arah yang terbaik bagi mereka, kerana memang tidak ada tempat di Rumah Gadang yang dapat mereka diami. Maka tidaklah salah jika ada anggapan public yang memberikan identity bahwa orang Minang adalah seorang perantau tulen, dan ini memang terbukti bahwa orang Minang tidak hanya merantau pada Pulau Jawa, namun mereka sudah mendominasi seluruh wilayah kesatuan Indonesia, bahkan mereka juga sampai merantauke luar negri. Hal yang paling unik dari tradisi merantau orang Minang adalah mereka tidak pernah membawa bekal berupa property ataupun modal, tidak ada pula pada masanya mereka menjual harta pusaka atau harta warisan hanya untuk dijadikan modal untuk merantau, namun yang mereka bawa adalah sebuah ilmu yang telah mereka pelajari dari surau, karena memang surau telah menempa karakteristik dan mental orang Minag agar mereka tidak pernah canggung untuk bergaul dan berusaha dirantau orang. Prinsip yang melandasi orang minang agar tidak takut atau canggung dirantau orang adalah “lawanindak di cari, kok basobok pantang di hindari”. Selain itu ada pula penjelasan lain terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Dalam system ini ibu adalah tempat menarik garis keturunan keluarga. Rumah gadang dibangun berdasarkan berapa jumlah keturunan garis perempuan. Semua kekayaan keluarga akan jatuh kepada keturunan perempuan. Berapa besar jumlah kamar rumah gadang dibuat tergantung kepada berapa jumlah anak gadis mereka. Tak ada kamar yang dibuat untuk laki-laki. Laki laki tidur di ruang tengah, jika sudah agak besar mereka akan menghabiskan waktunya di surau atau lapau atau di masdjid. Anak perempuan yang kawin akan membawa suaminya ke rumah mereka dan tidur di kamar yang sudah disediakan. Di rumah mertuanya, nasib lelaki juga sama; tak punya kekuasaan apa apakarena semua keputusan ada ditangan keluarga perempuan.
Pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah juga salah satu faktor yang menyebabkan laki-laki minang merantau. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang.
Kehiduppan di perantauan menyebabkan perubahan dalam sistem social orang Minangkabau, pertama, menyangkut semakin renggangnya hubungan Mamak, Kemanakan, kedua, semakin kuatnya peranan keluarga batih (extended family) dengan dikuti pula oleh perubahan pola kepemimpinan. Kerenggangan hubungan Mamak didefenisikan bahwa kegiatan merantau menyebabkan para kemanakan yang hidup atau lahir diperantauan kurang mengenal Mamaknya, kamupungnya dan kebudayaannya, atau mereka diberatkan sebagai generasi yang tercabut dari akar kebudayaannya. Ditambahkan pula bahwa jarak sosial yang timbul diperbesar oleh jurang pendidikan antara Mamak dengan kemanakan atau masuknya kebudayaan asing dalam diri kemanakan. Adanya jarak sosial antara Mamak dengan kemanakan, padahal terdapat perkembangan baru yang membuat hubungan tersebut menjadi renggang, terutama menyangkut semakin kuatnya pernan keluarga inti di perantauan. Kebanyakan parantau Minangkabau saat hidup bersama keluarga intinya, dengan kepala rumah tangga bukanlagi Mamak atau orang-orang tua seperti di kampung halaman. Hampir secara keseluruhan setiap keluarga di kepalai oleh suami yang didukung istri yang ikut mengelola rumah tangga. Sering pula dijumpai bahwa istri ikut aktif dalam menunjang ekonomi rumah tangga dengan bekerja bersama suami atau mebuat usaha sampingan.
Beberapa keluarga suku atau kaum kesulitan untuk mencari ninik mamak atau pemimpin kaum yang pandai karena putera putera terbaiknya lebih banyak dirantau.Padahal ninik mamak sebagai kepala kaum lazimnya berada di kampung memimpin kaumnya. Karena tak ada pilihan lain, diangkatlah ninik mamak yang sebenarnya kurang punya wibawa di kaumnya. Dulu posisi itu diperebutkan dalam keluarga, karena ninik mamak punya posisi terhormat di masyarakatnya, tapi kini banyak yang enggan memikulnya karena tidak lagi prestisus. Hal ini dipercepat oleh terjadinya pergeseran tentang apa yang disebut Keluarga. Orang minang bangga menyebut keluarga mereka sebagai keluarga besar. Dalam konsep ini, jika ada seseorang anak-kemenakan, meskipun jauh hubungannya, hidup terlantar maka keluarga besar bertanggung-jawab mendidik dan membesarkannya. Kalau tidak nama keluarga itu akan cacad dimasyarakatnya. Karena itu jika ada yang sukses dalam keluarga itu, maka sukses itu juga akan dinikmati oleh semuanya. Jika dia seorang paman dia selain bertanggung-jawab kepada anak isterinya juga membantu menyekolahkan keponakannya. Tapi sekarang konsep itu telah bergeser. Makna dan fungsi keluarga besar mulai rapuh, akibat pengaruh budaya modern. Muncullah apa yang disebut keluarga inti. Keluarga inti terdiri dari orangtua dan anak kandungnya saja, sebagaimana lazimnya masyarakat modern. Kalau ada saudara diluar keluarga inti hidup susah, maka itu akan dilihat sebagai konsekwensi hidup yang harus ditanggung sendiri oleh yang bersangkutan, meski itu adik atau kakak kandungnya. Budaya hidup barat yang menekankan tanggung-jawab pribadi, mulai terasa dampaknya terutama di rantau. Jika seorang minang tinggal dirantau bersama suaminya yang bukan Orang minang, tentu ia tak dapat memberi izin pada saudaranya menumpang dirumahnya, tanpa izin suaminya.

Kebudayaan Sunda

Setiap masyarakat selama hidup dan perkembangannya selalu mengalami perubahan, baik dari segi nilai-nilai sosial, pola-pola kelakuan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan sebagainya. Demikian halnya dengan masyarakat Sunda, yang sepanjang perjalanan sejarahnya dari dulu hingga sekarang mengalami berbagai perubahan. Salah satu akar kehidupan orang Sunda yang tampaknya dianggap tidak pernah mengalami perubahan ialah pandangan hidupnya.
Tradisi akan berubah seiring dengan proses perubahan yang mengglobal, sehingga dewasa ini, seiring dengan berlalunya waktu, banyak tradisi masyarakat ‘Sunda baheula’ yang tidak dipakai lagi. Kerugian yang terjadi atas hilangnya tradisi itu, menyebabkan banyaknya nilai-nilai kehidupan yang terlepas dan tidak lagi terestafetkan pada generasi mendatang. Mereka akan merasa asing dengan budayanya sendiri, padahal budaya atau tradisi itu adalah miliknya sendiri yang sarat akan makna dan falsafah hidup. Hal itu menyebabkan adanya nilai-nilai tradisi yang hilang di tengah jalan, sehingga generasi kini terlepas dari nilai-nilai yang menjadi pedoman generasi sebelumnya. Nilai-nilai kehidupan yang dijadikan pedoman hidup dalam penanaman kesadaran akan jati diri bagi perkembangan anak (baca : generasi penerus), diberikan dalam simbol yang sederhana. Etika moral yang digambarkan dalam tata kehidupan bagi masyarakat Sunda tertuang dalam kalimat yang sederhana, yaitu : Cageur, bageur, bener, pinter.
Akhir-akhir ini, banyak orang membicarakan masalah pendidikan yang kurang pas bagi anak-anak didik. Ada sementara orang orang yang berangggapan bahwa sistem pendidikan harus diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan pengetahuan yang diperlukan. Pada umumnya orang hanya membicarakan pendidikan formal yang lebih mengutamakan nalar daripada pendidikan dalam arti luas yang dapat membina kepribadian anak didik. Dengan pendidikan, dapat mempersiapkan anggota masyarakat agar siap tanggap dalam setiap tantangan baru. Akan tetapi pendidikan yang ditekankan pada pembinaan nalar harus diimbangi dengan pendidikan yang mengarah pada pembinaan kepribadian. Banyak orang melupakan pendidikan dalam keluarga, teman bermain dan sebaya, maupun masyarakat luas. Akibatnya dapat kita rasakan betapa banyak orang mengeluh. Di sini, mungkin salah satu bentuk tradisi tata asuh tata didik dalam permainan anak perlu digalakkan kembali. Dalam tradisi permainan anak ini tergambar suatu dinamika kehidupan yang natural, yang mampu mengembangkan sikap mental ‘mental attitude’ bagi si anak dalam menghadapi pembaharuan.
Kemajuan ilmu dan teknologi akan menimbulkan dampak sosial budaya yang amat besar. Dalam prakteknya ilmu dan teknologi yang dikuasai oleh nilai-nilai tertentu, menuntut penyesuaian sikap dan pola tingkah laku para pengendalinya. Dan pada akhirnya berdampak pada pergeseran dan bahkan perkembangan etika moral baru dan pandangan hidup tertentu.
Apabila tata asuh tata didik sebagai benteng dan sarana untuk mempersiapkan anggota masyarakatnya siap agar tidak tercerabut dari akar budayanya, maka ilmu dan teknologi yang muncul kemudian dapat disesuaikan dengan etika moral yang ada. Dan diharapkan dapat membantu mempersiapkan kemampuan anggota masyarakatnya untuk menghadapinya sesuai dengan etika moral yang jadi pedoman hidupnya.
Pandangan hidup bagi orang Sunda adalah “konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah hidup di dalam dunia ini”. Sedangkan pengertian orang Sunda dapat diartikan, mereka yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang-orang lain sebagai orang Sunda. orang-orang lain itu baik orang-orang Sunda sendiri maupun orang-orang yang bukan Sunda (Warnaen, dalam Suryani, 1988: 11). Ungkapan tradisional disampaikan oleh penuturnya agar pendengarnya mengetahui mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang dianggap tidak baik. Nilai yang dianggapnya baik itu harus dihindari. Ungkapan tradisional ini sangat estetis, karena mengandung unsur irama dan kekuatan bunyi kata. Hal itu mudah diingat dan tidak mudah berubah. Struktur dan bunyi kata-katanya pada dasarnya tidak berubah dari generasi ke generasi berikutnya. Ungkapan tradisional ini disamping mengandung pesan dana nasihat, terselubung makna dan nilai-nilai moral yang tinggi serta mencerminkan kearifan dari masyarakat penciptanya.
Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan.
Adat istiadat pernikahan orang Sunda di Parahiyangan ‘Jawa Barat’ pada umumnya sama. Namun ada beberapa kekhasan di tiap daerah dalam pelaksanaannya meskipun jelas-jelas bahwa pelaksanaan adat istiadat pernikahan orang Sunda zaman dahulu berbeda dengan adat istiadat pernikahan pada zaman sekarang. Demikian juga dalam masalah ‘perjodohannya’. Pada zaman dahulu adakalanya atau sering-sering seorang anak perempuan ‘dijodohkan’ oleh orang tuanya dengan anak sahabat atau rekannya tanpa sepengetahuan dan persetujuan anaknya. Pada zaman dahulu pun sering terdengar adanya ‘kawin paksa’. Orang tua terkadang tidak mempertimbangkan bagaimana kehidupan anaknya tersebut setelah menjadi ‘suami istri’ di kemudian hari. Yang terpenting bagi ‘si orang tua’, anak perawannya jangan sampai menjadi jomlo ‘perawan tua’ yang akan berpengaruh terhadap kehidupan dan nama baik keluarganya. Maka dari itu, meskipun belum cukup umur, anak perawannya tersebut sudah dinikahkan.


BAB III
HASIL

Hasil wawancara subjek berkebudayaan minang
Bagaimana menurut anda tentang pola asuh pendidikan di Sumatra barat?
Jawab : pendidikan di Sumatra Barat rata-rata masih sangat terbelakang karena kebanyakan orang disana tidak menyelesaikan pendidikannya sampai lulus sekolah. Mereka lebih cendrung untuk merantau kejakarta atau kota-kota maju lainnya untuk mencari uang dan mengadu nasib di kota besar.
Bagaimana pola asuh ekonomi masyarakat padang?
Jawab : perkembangan ekonomi di daerah masyarakat Sumatra Barat Khususnya didaerah dimana yaitu kota Lubuk Buayo maih sangat minim apa lagi dalam segi pembangunan , mereka lebih mengutamakan dalam bidang perkebunan, perikanan, contohnya dalam hal perkebunan masyarakat umumnya menanam kelapa sawit, coklat dan pala wija. Berbeda dengan dijakarta semua serba modern .
Apa mata pencaharian keluarga anda?
Jawab : mata pencarian keluarga saya adalah sebagai pedagang baju dipasar Lubuk Buayo. Usaha ini sudah dijalankan sejak lama oleh keluarga saya dari saya kecil sampai sekarang .
Bagaimana cara anda menentukan pilihan hidup menurut adat dan kebudayaan suku minangkabau ?
Jawab : saya lebih memilih untuk merantau ke daerah-daerah maju seperti Jakarta dibandingkan dengan meneruskan usaha ayah saya berjualan di padang, saya lebih memilih merantau dan berdagang di kota yang lebih maju karena saya ingin mengadu nasib dan melatih diri saya untuk hidup mandiri.
Bagaimana masyarakat padang khususnya anda untuk memilih jodoh ?
Jawab : dikeluarga saya, adat istiadat minangkabau masih ada. Adat membeli laki-laki masih dipertahankan sampai sekarang, semakin tinggi tittle seorang laki-laki maka semakin mahal harga laki-laki itu contohnya harga seorang polisi adalah 50 juta. Sebagai seorang perempuan yang membeli laki-laki tersebut maka kehidupan mereka akan dijamin oleh lelaki tersebut. Maka dari itu saya lebih memilih mencari pasangan hidup dari luar daerah dimana tempat saya tinggal sekarang yaitu kota Jakarta.

Hasil wawancara subjek berkebudayaan sunda
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam memilih pendidikan?
Jawab : pada masyarakat sunda, hak sepenuhnya berada pada orang tua dalam memilih pendidikan. Baik itu SD, SMP, SMA. Jika orang tuanya sarjana, maka ia berhak menentukan pilihan Perguruan Tinggi pada anaknya.
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam hal ekonomi?
Jawab : dalam hal ekonomi, orang tua berkewajiban memberikan dan memenuhi kebutuhan anaknya dari mulai kecil. Bahkan saat anak telah menikahpun, orang tua masih menopang ekonomi keluarga anaknya sejauh anaknya tidak mampu. Orang tua membuatkan ruamh untuk anaknya, bahkan ada juga yang berbagi dengan anaknya (dalam rumah terdapat dua kepala keluarga). Ini tidak berhenti disitu saja. Melainkan sebelum orang tua meninggal biasanya sudah membagikan hartanya kepada anak-anak merekea. Salah satu tujuannya yaitu kelak ketika mereka meninggal tidak meninggalkan masalah bagi anak-anaknya.
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam hal menentukan jodoh?
Jawab : dalam memilih pasangan hidup untuk anaknya, orang tua juga berperan. Bahkan bagi anak perempuannya, orang tua berhak memilihkan siapa yang menjadi suaminya.
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam memilih profesi?
Jawab : dalam pemilihan profesi, orang tua sunda itu memfasilitasi anaknya. Contoh: jika profesi orang tua sebagai pengusaha, biasanya orang tua memfasilitasi anaknya untuk membuka usaha. Hal ini bertujuan untuk melanjutkan profesi orang tuanya. Dengan kata lain anak dipaksa seperti orang tuanya.
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam menentukan tujuan hidup?
Jawab : dalam hal ini pun peran orang tua masih sangat besar. Orang tua cenderung akan mengarahkan anaknya untuk hidup seperti apa dan menjadi apa. Maka orang sunda banyak sekali yang manja dan tergantung dengan orang tua, sehingga mereka tidak berani. Oleh karena itu, masyarakat sunda lebih memilih untuk tinggal di lingkungannya dengan kerabat mereka disbanding tinggal berjauhan. Salah satu alas an juga masyarakat sunda menetap karena lingkungan sunda yang memfasilitasi, dalam hal sumber daya alam wilayah sunda sangat kaya. Maka mereka tidak usah memilih pergi jauh dari lingkungan dimana ia dibesarkan.

KESIMPULAN
Pola asuh keluarga berpengaruh untuk membentuk anak nantinya, hal ini juga yang membedakan anak dari turunan minang dan anak dari turunan sunda. Anak dari turunan sunda cenderung tidak percaya diri, karena dia sedari kecil bahkan ketika ia dewasa pun masih bergantung pada orang tua. Berbeda dengan anak dari turunan minangkabau yang cenderung berani, karena ia di didik untuk mandiri dengan tradisi merantaunya.
Ada beberapa alasan dibalik tradisi merantau. Lingkungan minangkabau yang kurang dengan sumber daya alamnya menjadi salah satu alasan masyarakat minangkabau untuk pergi merantau, berbeda dengan lingkungan tatar sunda yang sumber daya alamnya melimpah, maka masyarakat sunda sedikit yang pergi merantau ke daerah-daerah lain.



Daftar Pustaka

Ensiklopedi Sunda. 2000. Jakarta: Pustaka Jaya.

KATO, TSUYOSHI. 1982. Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

KATO, TSUYOSHI. 2006. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Balai Pustaka, Jakarta.

Suryani NS, Elis. 2007. Keanekaragaman Budaya Sunda Buhun. (Makalah Penlok Budaya Sunda & Sosialisasi Sertifikasi Bagi Guru. Tasikmalaya: Kerja Sama Dinas Pendidikan Kota&Kabupaten Tasikmalaya dengan FKIP Universitas Siliwangi.

Jumat, 09 Desember 2011

Laporan Tugas Psikologi Lintas Budaya

PERBEDAAN POLA ASUH PADA MASYARAKAT BUDAYA SUNDA DAN BUDAYA MINANG

Kelas 3PA 02
Kelompok :
1. Aprilia Maharani A. (14509412)
2. Erlinda Astriana (13509230)
3. Hafia Gina Rosada (14509338)
4. Putrijah (14509940)

Saya (Hafia Gina Rosada) dan Aprilia Maharani bertugas mewawancarai dan mengobservasi pada bagian masyarakat kebudayaan sunda. Sedangkan yang mewawancarai dan mengobservasi kebudayaan minang, Erlinda dan Putrijah.
Perkembangan kelompok kami baru pada tahap pembuatan janji dengan subjek untuk wawancara. Karena kami terkendala dengan waktu kuliah yang padat dan tugas-tugasnya.
Kami mengambil tema tersebut karena ingin mengetahui lebih lanjut mengenai fenomena yang terjadi serta perbedaan-perbedaan apa saja yang ada.

Selasa, 04 Oktober 2011

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

C. PEMBAHASAN
Pendahuluan
A. Pengertian Psikologi Lintas Budaya
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara budaya psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam budaya-budaya tersebut. Sedangkan pendapat beberapa ahli, yaitu: Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
B. Hubungan Psikologi Lintas Budaya dengan Ilmu Lain
Hubungan psikologi lintas budaya dengan ilmu lain dapat dikatakan seperti simbiosis mutualisme, yaitu saling membantu, saling mengisi satu sama lain.
• Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku hubungan antar individu, dan antar individu dan kelompok dalam perilaku social. Melihat pengertian sosiologi jelas hubungan psikologi lintas budaya dan sosiologi amat erat. Lalu seiring berjalannya waktu kita lebih mudah mengatakan psikologi lintas budaya karena kita melihat hubungan yang erat antar kedua ilmu tsb. Psikologi lintas budaya mempelajari mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara budaya psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam budaya-budaya tersebut. objeknya pada individu tersebut. Psikologi lintas budaya dan Sosiologi sama- sama mempelajari perilaku hubungan antar individu.
• Menurut kamus Bahasa Indonesia, antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang asal- usul manusia, kepercayaannya, bentuk fisik, warna kulit, dan budayanya di masa silam. Karena eratnya hubungan psikologi dan antropologi sehingga muncullah sub ilmu yang salah satunya bernama anthropology in mental health, pada sub ilmu ini sangat terlihat bahwa psikologi dan antropologi saling terkait, seperti contoh bahwa penyakit jiwa tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kelainan biologis namun juga oleh emosi atau mental yang tertekan sehingga membuat orang tersebut mengalami penyakit jiwa, keadaan jiwa manusia itu tergantung pada aspek- aspek social budaya.
• Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran yang sedalam- dalamnya. Sebenarnya psikologi adalah salah satu bagian dari filsafat. Jadi psikologi dengan filsafat hubungannya sangat erat karena psikologi merupakan bagian dari ilmu filsafat.
C. Etnosentrisme dalam Psikologi
Suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang mutlak, dan dipergunakan sebagai tolak ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain. Sebagai konsekuensi dari identitas etnis muncullah etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain.
Contoh dalam buku ini dijelaskan ketika bangsa Belanda yaitu Jan Pieterzoon Coen hadir di Batavia, ia membangun gudang penyimpanan harta mereka ditepi timur kali Ciliwung yang kemudian diperkuat dengan perbentengan. Benteng tersebut digunakan untuk segala kesibukan pedagangan dan kehidupan sehari-harinya berpusat di benteng. Rumah-rumah tempat tinggal ini yang mengingatkan dengan ruma-rumah di negeri Belanda yang dibangun disepanjang kanal (gracht).
D. Kesamaan dan Perbedaan antar Budaya
Kesamaannya terdapat dalam munculnya penggolongan social. Hal itu disebabkan oleh besarnya pengaruh Belanda di pulau Jawa. Sedangkan perbedaan budayanya dilihat dalam berbagai aspek, yaitu bahasa, kelengkapan hidup, mata pencaharian, pendidikan dan pengajaran, kesenian, ilmu pengetahuan, gaya hidup, religi.

Transmisi Budaya dan Perkembangan Individu
A. Transmisi Budaya Melalui Enkulturasi
Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Dalam buku ini diceritakan ketika mereka berkomunikasi, awalnya mengalami kesulitan. Kemudian bangsa eropa menyederhanakan tata bahasa dan kosakata mereka, dengan harapan dapat berkomunikasi dengan penduduk asli. Sebaliknya, penduduk asli juga berusaha untuk mempermudah system bahasanya agar bangsa eropa (pendatang) dapat memahami mereka. Hal ini mengakibatkan kedua belah pihak dapat berkomunikasi, namun secara terpatah-patah.
B. Awal Perkembangan dan Pengasuhan
Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal transmisi budaya melalui masa remaja. Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak-anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.
Pada dasarnya remaja memiliki semangat yang tinggi dalam aktivitas yang digemari. Mereka memiliki energi yang besar, yang dicurahkannya pada bidang tertentu, ide-ide kreatif terus bermunculan dari pikiran mereka. Selain itu, remaja juga memiliki rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, mereka cenderung menggunakan metode coba-coba. Sebagai contoh, ketika berkembang sistem belajar yang menyenangkan atau disebut Quantum Learning, remaja cenderung mencoba hal tersebut. Namun hal ini tidak terbatas hanya pada budaya yang bersifat positif, tapi juga pada budaya negatif. Misalnya, ketika berkembang budaya “clubbing” di kota-kota besar, sebagian besar remaja marasa tertarik untuk mencoba, sehingga ketika sudah merasakan kelebihannya, perbuatan itu terus dilakukan.
Selanjutnya yang kedua ialah faktor eksternal. Keluarga berperan penting dalam membimbing remaja untuk menentukan yang baik atau tidak untuk dilakukan. Orang tua memegang peranan utama didalam sebuah keluarga. Segala tindakanya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik dan psikis anak. Remaja dengan orang tua yang memperhatikan mereka cenderung dapat memilah pergaulan yang berdampak positif atau negatif bagi mereka. Kemudian, lingkungan turut mempengaruhi pergaulan.
Untuk mengantisipasi dampak tersebut, Remaja seharusnya dapat memilah dan menyaring perkembangan budaya saat ini, jangan menganggap semua pengaruh yang berkembang saat ini semuanya baik, karena belum pasti budaya barat tersebut diterima dan dianggap baik oleh Budaya Timur kita.
C. Perkembangan Moral
Perkembangan sosial merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan.
Proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin yaitu mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan.
Tokoh yang membahas mengenai moral yaitu Kohlberg (Orang kultur Barat yang terdidik, elit, berkulit putih, dan pria) memandang otonomi dan keadilan individu sebagai nilai moral yang utama. Ia bahkan menyamakan moralitas dengan keadilan (dengan mengabaikan nilai moral lain seperti keberanian, pengendalian-diri, empati, dll.). Para anggota kelas pekerja dan kelas pedesaan, bagaimanapun, cenderung untuk memiliki pendekatan yang lebih komunitarian terhadap hidup. Namun ada tokoh lain yang mengeritik Kohlberg salah satunya dalam hal budaya. Berkritik pemahaman moral lebih bersifat budaya dan sistem penilaian Kohlberg tidak mengenali pemahaman moral yang lebih tinggi pada kelompok budaya tertentu. Contoh pemahaman moral yang tidak diukur oleh system Kohlberg adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kesetaraan komunal dan kebahagiaan kolektif seperti di Israel, kemanunggalan dan kekeramatan segala aspek kehidupan di India. Kohlberg tidak bisa mengukur hal-hal tersebut diatas karena teori kohlberg tidak menekankan hak individu dan prinsip-prinsip abstrak tentang keadilan. Kesimpulan, pemahaman moral lebih dibentuk oleh nilai dan keyakinan dalam sebuah budaya.

Perilaku Sosial
A. Konteks Sosial dan Masyarakat
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.

B. Konformitas.
Konformitas ialah perubahan perilaku seseorang yang terjadi karena pengaruh orang lain. Konformitas pada kebudayaan dapat mempengaruhi perilaku orang lain, mereka meyakini bahwa apa yang mereka katakan atau lakukan adalah benar, maksudnya kebudayaan yang mereka anut atau mereka pegang dianggap lebih benar dan lebih baik dibandingkan budaya yang lain, adapun anggapan lain yang berbeda bagi mereka konformitas dalam kebudayaan tidak mempengaruhi perilaku orang lain, mereka tidak perlu meyakini apa yang mereka katakana atau lakukan, maksudnya mereka menganggap kebudayaan itu memiliki cara yang berbeda-beda.
Misalnya masuknya budaya barat yaitu seperti cara berpakaian atau cara berbicara yang pada akhirnya diikuti juga oleh sebagian masyarakat.
C. Nilai-Nilai
Kebudayaan pada nilai-nilai sosial ialah nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
D. Individualisme dan Kolektifisme
Mendominasi pada pemikiran tentang kepribadian di budaya barat Bersifat kolektivistik ketimbang individualistik. Individualistik adalah orientasi individu atau diri yang mencakup pemisahan diri dari orang lain sedangkan koletivistik menunjuk pada orientasi kelompok yang mencakup hubungan diri dari orang lain. Orientasi individualistik versus kolektivistik ditemukan sebagai dimensi dasar dari budaya alamiah. Misalnya seperti di Negara Jepang yang dimana pada sistem pendidikan disekolah mereka menerapkan sistem berkelompok dan saling berhubungan dengan orang lain.
E. Kognisi Sosial
Kebudayaan dalam Kognisi sosial bagaimana orang berfikir mengenai dirinya sendiri dan dunia sosial atau bagaimana orang memilih, menginterpretasikan, mengingat, dan menggunakan informasi sosial untuk membuat penilaian dan mengambil keputusan.
F. Perilaku Gender
Kebudayaan dalam hal perilaku gender memiliki peran yang berbeda seperti misalnya pada laki-laki sangat sulit untuk menerima kebudayaan asing atau kebudayaan baru, laki-laki sangat tidak mudah untuk dipengaruhi karena laki-laki lebih independent dalam menghadapi tekanan sosial, berbeda dengan wanita, pada wanita kebudayaan-kebudayaan baru sangat mudah dipengaruhi karena wanita lebih memilih melakukan konformitas, wanita lebih mudah menerima tekanan-tekanan sosial.

Kepribadian
A. Perbedaan Antar Budaya
Kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia sangat banyak dan beraneka ragam. Sejak jaman dahulu sampai sekarang bangsa ini memiliki keanekaragaman suku, budaya, dan bahasa. Namun saat ini saya ingin melihat tentang keanekaragaman cirri, sifat kebuadayaan yang ada di Indonesia, khususnya di pulau Jawa pada jaman itu, yang di sebut dengan kebudayaan Indis. Disebut kebudayaan indis karena merupakan pertemuan antara dua kebudayaan saat itu yaitu kebudayaan Jawa kuno ( orang pribumi ), dengan kebudayaan Kolonial dengan masuknya VOC.
Kebuadayaan yang dimiliki bangsa Indonesia ( khususnya di pulau Jawa ) pada saat itu, terdiri dari beberapa kelas, ini terbentuk karena adanya kelas-kelas social yang ada dalam masyrakat di pulau Jawa saat itu. Saya mencoba membagi dalam dua kelompok besar, yaitu : Masyarakat Pribumi, dan Masyarakat pendatang.
Ada persamaan dan perbedaan antara kedua kebudayaan pada saat itu. Saya membagi dala kategori gaya hidup yaitu berupa tata cara, adat-istiadat, kebiasaan, dan mental. Keseluruhan cirri ini yang berpengaruh dalam keseharian hidupnya. Hal ini juga beradasarkan kelas social yang ada dalam masyarakat pada saat itu.
a. Pada Masyarakat Pribumi, dibagi dalam kelas-kelas sosialnya :
1. Kaum Bangsawan : yaitu mereka yang terdiri atas golongan Ningrat yg berkuasa di daerah tertentu.
2. Taun-Tuan Tanah : yaitu mereka yang bukan keturunan bangsawan tapi memiliki banyak harta dan memiliki banyak pembantu ( budak )
3. Masyarakat Jelata : mereka yang berasal dari masyarakat biasa, tetapi mampu memiliki rumah dengan meyewa tanah-tanah dan bekerja untuk menafkahi hidup keluarganya
4. Budak : yaitu mereka yang tidak memiliki apa-apa dan hanya tunduk pada perintah tuannya, baik itu para bangsawan atau pun para tuan tanah.
b. Pada Masyarakat Kolonial juga terdiri dari tingkat-tingkatan yaitu :
1. Pegawai Niaga, mulai dari jabatan opperkoopman (pedagang kapal) samapi asisten (para pembantu atau juru tulis). Mereka memegang peranan penting. Mereka juga bertugas sebagai birokrat mengajarkan administrasi.
2. Personel Militer dan Maritime terdiri atas berbagai tingkat kepangkatan dan jumlahnya pun sangat banyak status kelompok ini lebih rendah dari kelompok pegawai niaga.
3. Personel Kerohanian terdiri dari pendeta dan para misionaris dan penghibur orang sakit.
4. Kelompok Terendah terdiri dari para tukang dan para pengrajin.
Perbedaan antara dua budaya ini bertemu dalam satu pulau yaitu Jawa, terjadi persinggungan, pertukaran, peleburan yang melahirkan sebuah kebudayaan baru. Memang kehidupan masyarakat Hindia Belanda saat itu jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat jawa, dalam hal :
a. Gaya hidup
b. Rumah tinggal
c. Kelengkapan dalam rumah
d. Kehidupan keluarga
e. Upacara-upacara tertentu ( kelahiran, perkawinan, dan kematian )
Perbedaan ini yang juga membentuk perbedaan dalam hal melihat self Identity. Yaitu orang Belanda cenderung menganggap diri mereka lebih maju dan lebih baik dari orang pribumi, dengan segala kemajuan yang mereka bawa dari Negara mereka. Sedangakan masyarakat pribumi juga menganggap bahwa mereka hanya datang untuk mengacaukan keharmonisan yang telah ada.
Konsep yang dibawa oleh bangsa colonial inil;ah yang kemudian menjadikan alasan untuk mejajah bangsa ini. Mereka menganggap bahwa masyarakat kita tidak lebih maju, dan bias dijadikan budak mereka. Kemudian mulai timbul sikap-sikap mereka yang memulai memonopoli dalam berbagai hal, yaitu : perdagangan dan kepemerintahan.
Kognisi
A. Intelegensi Umum
Menurut David Wechsler , inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Sementara itu, Sartono Kartodirdjo (dalam Kebudayaan Indis. 2011. Soekiman,Djoko) membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan ssosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi dan pemerintahan. Menurut Sartono, stratifikasi masyarakat Hindia Belanda adalah : (1) elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi, (2) Priyayi Birokrasi termasuk Priyayi Ningrat, (3) Priyayi Profesional (dibagi menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik), (4) Golongan Belanda dan Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan (5) orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung.
B. Gaya Kognitif
Dalam (Kebudayaan Indis.2011. Soekiman, Djoko) menyebutkan aspek kognitif berhubungan dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal ini berkaitan dengan berbagai aktivitasdan meliputi berbagai objek karena peneliti mendapatkan struktur-struktur dasar yang komplek sehingga peneliti perlu membatasi diri dan mempersempit garis besar permasalahan. Hal ini lebih sulit diartikan karena justru gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda. Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh, misalnya dalam hal membnagun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku penghuninya. Pada suku Jawa, misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan diantara anggota dan bukan anggota penghuni rumah. Maka fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas.
Contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasaan sistem simbolik, khususnya gaya hidup. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi yang khusus, fungsi ruang secara terpisah (apart) untuk terjaminny privilege atau privacy penghuninya, semua itu menambah kecanggungan orang Pribumi untuk tinggal di dalam rumah yang asing iyu. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokossmos menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya, tidak adapada alam pikiran Eropa. Apakah rumah gaya Indis sebagai tempat tinggal baru diinterpretasikan dengan pola konsep lama atau tradisional Jawa? Hal ini belum jelas. Dalam menganalisis aspek kognitif gaya Indis, kita perlu memperhitungkan konteks budaya Belanda dan Jawa. Jelas bahwa rumah tempat tinggal orang Belanda tidak dihubungkan dengan kosmos dan tidak mempunyai konotasi ritual seperti pandangan dan kepercayaan Jawa.
Memang, orang Eropa mengenal peletakan batu pertama dan pemancangan bendera di atas kemuncak bangunan runmahnya yang sedang dibangun dengan diikuti pesta minum bir, tetapi hal semacam ini adalah peninggalan budaya lama mereka. Kegiatan itu adalah “gema” saja dari adat lama yang sudah kabur pengertiannya. Bagi orang Jawa, menaikkan mala (tiang) sebuah rumah tinggal dengan slametan, melekan (wungon, bedagang), meletakkan secarik kain tolak bala, sajen, dan memilih hri baik, memiliki arti simbolik tertentu. Bagi orang Jawa, meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat karena adanya paham kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang sulit dijelaskan.

Bahasa
A. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan sarana terpenting dalam hal berkomunikai antar budaya , perkembangan bahasa yang digunakan pun berfariasi sesuai dengan lingkungan. Dan untuk mempermudah komunikasi antar budaya yang berbeda bahasanya biasanya mereka menyesesuaikannya dengan menyederhanakan tata bahasa mereka dengan harapan dapat mempermudah komunakasi antar beda bahasa agar mudah untuk dipahami. Dan ada pula bahasa campuran misalkan bahasa indo-belanda yang terjadi pada sebagian masyarakat pendukung kebudayaan indis yang sering digunakan oleh keturunan belanda untuk berkomunikasi dengan masyarakat jawa,oleh cina dan timur asing.
a. Perkembangan bahasa yang unik antar budaya terkait dengan perbedaan kognisinya
• Bahasa berkembang secara sendirinya di keluarga serta lingkungan dimana tempat kita tinggal. Bahasa campuran indo belanda atau sering disebut dengan bahasa petjoek (campuran). Bahasa jawa merupakan pangkal (basis) dari bahasa petjoek. Umumnya digunakan oleh mayarakat Indonesia sebagai media komunikasi antar masyarakat dengan penduduk asing. Bahasa petjoek muncul diindonesi sebelum perang dunia ke II . kehadiran bangsa belanda di Indonesia yang dilanjutkan dengan percampuran darah dan budaya.mereka umumnya menggunakan bahasa petjoek yaitu bahasa yang digunakan oleh kaum papa miskin dan orang belanda yang tidak diakui.

b. Kesamaan dalam hal bahasa antar budaya meskipun terdapat perbedaan
• Bahasa merupaka alat pemersatu bangsa, bahasa yang berbeda namun mempunyai arti yang sama. Perbedaan antar budaya yang menggunakan bahasa yang berbeda adalah slah satu bukti bahwa Indonesia kaya akan keanekaragaman bahasa dan budaya .

B. Bilingualism
Pada umumnya anak yang beribu jawa dan berayah belanda biasanya lebih banyak menerima pengaruh budaya dari pihak ibu. Hal itu disebabkan karena mereka besar dalam lingkungan orang jawa dan sehari” mereka menggunakan bahaa ibu. Di samping itu anak” tersebut juga menggunakan bahasa belanda dari ayahnya, teteapi mereka mengucapka dengan lafal logat orang jawa.
Emosi
A. Emosi Sebagai Pernyataan Budaya
Aspek kognitif berhubungan erat dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Sebagai contoh, misalnya dalam hal membangun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian rumah tinggal berhubungan erat dengan perilaku penghuninya. Misalnya, pada suku Jawa tidak dikenal ruang khusus bagi keluarga bagi pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, family, bahkan diantara anggota dan bukan anggota penghuni rumah. Maka, fungsi ruang tidak dibedakan atau dipisahkan secara jelas.
Persepsi
A. Rekognisi (mengenali) Wajah dan Fungsi Indera
Bangsa eropa cenderung memiliki kulit putih, hidung mancung, dengan bola mata berwarna terang seperti biru, hijau, coklat muda. Berbeda halnya dengan bangsa pribumi yang cenderung berkulit sawo matang, bola mata yang cenderung berwarna gelap yaitu hitam, coklat.

Selasa, 29 Maret 2011

Kesehatan Mental

bidang kesehatan mental sangat berbeda dengan bidang-bidang lain dalam psikologi, sebab diberbagai bidang psikologi yang lain kita cukup menggambarkan berbagai fenomena dan berusaha mengungkapkan segi-seginya yang kabur dan hubungan-hubungan yang terkadang di dalamnya kemudian kita tafsirkan hubungan-hubungan ini, sedang cara ini sesuai dengan metode ilmiah yang kita gunakan dalam pembahasan ini. sedangkan di dalam kesehatan mental kita melangkah lebih jauh dari itu. kita bukan hanya sekedar membahas fenomena dan berusaha mengungkapkan dimensi-dimensinya dan hubungan-hubungannya yang wujud diantara dimensi-dimensi ini, tetapi kita melangkah jauh dari ini, yaitu kita harus mengusulkan kepada orang tentang apa sepatutnya kesehatan mental yang wajar itu.

Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental

Seperti juga psikologi yang mempelajari hidup kejiwaan manusia, dan memiliki usia sejak adanya manusia di dunia, maka masalah kesehatan jiwa itupun telah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu dalam bentuk pengetahuan yang sederhana.

Beratus-ratus tahun yang lalu orang menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan-syaitan, roh-roh jahat dan dosa-dosa. Oleh karena itu para penderita penyakit mental dimasukkan dalam penjara-penjara di bawah tanah atau dihukum dan diikat erat-erat dengan rantai besi yang berat dan kuat. Namun, lambat laun ada usaha-usaha kemanusiaan yang mengadakan perbaikan dalam menanggulangi orang-orang yang terganggu mentalnya ini. Philippe Pinel di Perancis dan William Tuke dari Inggris adalah salah satu contoh orang yang berjasa dalam mengatasi dan menanggulangi orang-orang yang terkena penyakit mental. Masa-masa Pinel dan Tuke ini selanjutnya dikenal dengan masa pra ilmiah karena hanya usaha dan praksis yang mereka lakukan tanpa adanya teori-teori yang dikemukakan.

Masa selanjutnya adalah masa ilmiah, dimana tidak hanya praksis yang dilakukan tetapi berbagai teori mengenai kesehatan mental dikemukakan. Masa ini berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam di Eropa.

Dorothea Dix merupakan seorang pionir wanita dalam usaha-usaha kemanusiaan berasal dari Amerika. Ia berusaha menyembuhkan dan memelihara para penderita penyakit mental dan orang-orang gila. Sangat banyak jasanya dalam memperluas dan memperbaiki kondisi dari 32 rumah sakit jiwa di seluruh negara Amerika bahkan sampai ke Eropa. Atas jasa-jasa besarnya inilah Dix dapat disebut sebagai tokoh besar pada abad ke-19.

Tokoh lain yang banyak pula memberikan jasanya pada ranah kesehatan mental adalah Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Beers pernah sakit mental dan dirawat selama dua tahun dalam beberapa rumah sakit jiwa. Ia mengalami sendiri betapa kejam dan kerasnya perlakuan serta cara penyembuhan atau pengobatan dalam asylum-asylum tersebut. Sering ia didera dengan pukulan-pukulan dan jotosan-jotosan, dan menerima hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dari perawat-perawat yang kejam. Dan banyak lagi perlakuan-perlakuan kejam yang tidak berperi kemanusiaan dialaminya dalam rumah sakit jiwa tersebut. Setelah dirawat selama dua tahun, beruntung Beers bisa sembuh.

Di dalam bukunya ”A Mind That Found Itself”, Beers tidak hanya melontarkan tuduhan-tuduhan terhadap tindakan-tindakan kejam dan tidak berperi kemanusiaan dalam asylum-asylum tadi, tapi juga menyarankan program-program perbaikan yang definitif pada cara pemeliharaan dan cara penyembuhannya. Pengalaman pribadinya itu meyakinkan Beers bahwa penyakit mental itu dapat dicegah dan pada banyak peristiwa dapat disembuhkan pula. Oleh keyakinan ini ia kemudian menyusun satu program nasional, yang berisikan:

1. Perbaikan dalam metode pemeliharaan dan penyembuhan para penderita mental.
2. Kampanye memberikan informasi-informasi agar orang mau bersikap lebih inteligen dan lebih human atau berperikemanusiaan terhadap para penderita penyakit emosi dan mental.
3. Memperbanyak riset untuk menyelidiki sebab-musabab timbulnya penyakit mental dan mengembangkan terapi penyembuhannya.
4. Memperbesar usaha-usaha edukatif dan penerangan guna mencegah timbulnya penyakit mental dan gangguan-gangguan emosi.

William James dan Adolf Meyer, para psikolog besar, sangat terkesan oleh uraian Beers tersebut. Maka akhirnya Adolf Meyer-lah yang menyarankan agar ”Mental Hygiene” dipopulerkan sebagai satu gerakan kemanusiaan yang baru. Dan pada tahun 1908 terbentuklah organisasi Connectitude Society for Mental Hygiene. Lalu pada tahun 1909 berdirilah The National Committee for Mental Hygiene, dimana Beers sendiri duduk di dalamnya hingga akhir hayatnya.

Menurut Psikoanalisa, kepribadian yang normal (sehat) adalah:

  • Kepribadian yang sehat menurut Freud adalah jika individu bergerak menurut pola perkembangan yang ilmiah.
  • Hasil dari belajar dalam mengatasi tekanan dan kecemasan.
  • Kesehatan mental yang baik adalah hasil dari keseimbangan antara kinerja super ego terhadap id dan ego.

Kepribadian sehat behavioristik :

  • Manusia adalah makhluk perespon; lingkungan mengontrol perilaku.
  • Manusia tidak memiliki sikap diri sendiri
  • Mementingkan faktor lingkungan
  • Menekankan pada faktor bagian
  • Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
  • Sifatnya mekanis mementingkan masa lalu

Manusia diperlukan sebagai mesin, layaknya alat pengatur panas yang mengatur semuanya. Aliran ini menganggap manusia yang memberikan respons positif yang berasal dari luar. Dalam aliran ini manusia dianggap tidak memiliki sikap diri sendiri. Dan ciri-cirinya yaitu : tersusun baik, teratur dan ditentukan sebelumnya, dengan banyak spontanitas, kegembiraan hidup dan krativitas.


Minggu, 02 Januari 2011

aplikasi psikologi dalam layanan aplikasi internet

Dahulu, tes psikologi hanya dapat dilakukan secara tertulis dengan syarat-syarat tertentu dan hanya di tempat yang ditentukan. Namaun, karena seiring dengan pesatnya kemajuan tekhnologi, kini telah diciptakanlah tes psikologi online yang memudahkan orang-orang untuk mengetahui intelegensi orang tersebut danlain-lain. Hanya dengan duduk dirumah dengan mengakses internet orang tersebut dapat mengikuti tes psikologi tersebut.