BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang Masalah
Indonesia merupakan negara dengan beribu-ribu kebudayaan. Perbedaan budaya inilah yang menjadikan orang berbeda pula. Dengan tradisi dan pola asuh yang berbeda di setiap suku akan melahirkan manusia dengan karakternya tersendiri.
Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengetahui perbedaan pola asuh kebudayaan sunda dan pola asuh kebudayaan minangkabau. Dengan beberapa indikator, yaitu:
1. Pola asuh memilih jodoh
2. Pola asuh menentukan profesi
3. Pola asuh ekonomi
4. Pola asuh menentukan tujuan hidup
5. Pola asuh pendidikan
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola asuh antara keluarga yang berkebudayaan sunda dengan keluarga yang berkebudayaan minangkabau.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini, kami menggunakan metode wawancara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pola asuh Secara etimologi, pola berarti bentuk, tata cara. Sedangkan asuh berarti menjaga, merawat dan mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik. Jika ditinjau dari terminologi, pola asuh anak adalah suatu pola atau sistem yang diterapkan dalam menjaga, merawat dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif atau positif (Ghofur dkk : 2009).
Sedangkan pola asuh menurut Darling (1999) adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.
Sedangkan menurut Huxley (2002) pola asuh merupakan cara di mana orangtua menyampaikan / menetapkan kepercayaan mereka tentang bagaimana menjadi orangtua yang baik atau buruk.
Sementara itu Gunarsa (1995) bahwa pola asuh merupakan cara orangtua bertindak sebagai orangtua terhadap anak-anaknya di mana mereka melakukan serangkaian usaha aktif.
Menurut Suardiman (1983) memberikan pengertian bahwa pola asuh adalah cara mengasuh anak, usaha memelihara, membimbing, membina, melindungi anak untuk kelangsungan hidupnya.
Kebudayaan Minangkabau
Suku Minangkabau atau Minang atau seringkali disebut Orang Padang adalah suku yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Suku ini terutama terkenal karena adatnya yang matrilineal walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam.Suku Minang terutama menonjol dalam bidang perdagangan dan pemerintahan. Kurang lebih dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan.Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta,Bandung, Pekanbaru, Medan, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini, populer dengan sebutan, masakan Padang sangat terkenal.
seorang anak laki-laki minang, surau tidak hanya berfungsi sebagai rutinitas religi namun surau juga merupakan sebuah tempat “education” bagi laki-laki minang dan juga tempat bergaul sesama besar. Ada pepatah yang menyatakan bahwa “laki-laki Minang itu ibarat abu diatas tunggul, jika datang angin berhembus maka angin tersebut akan membawa abu tersebut terbang”. Begitu pulalah seorang laki-laki Minang mereka akan pergi merantau kemana arah yang terbaik bagi mereka, kerana memang tidak ada tempat di Rumah Gadang yang dapat mereka diami. Maka tidaklah salah jika ada anggapan public yang memberikan identity bahwa orang Minang adalah seorang perantau tulen, dan ini memang terbukti bahwa orang Minang tidak hanya merantau pada Pulau Jawa, namun mereka sudah mendominasi seluruh wilayah kesatuan Indonesia, bahkan mereka juga sampai merantauke luar negri. Hal yang paling unik dari tradisi merantau orang Minang adalah mereka tidak pernah membawa bekal berupa property ataupun modal, tidak ada pula pada masanya mereka menjual harta pusaka atau harta warisan hanya untuk dijadikan modal untuk merantau, namun yang mereka bawa adalah sebuah ilmu yang telah mereka pelajari dari surau, karena memang surau telah menempa karakteristik dan mental orang Minag agar mereka tidak pernah canggung untuk bergaul dan berusaha dirantau orang. Prinsip yang melandasi orang minang agar tidak takut atau canggung dirantau orang adalah “lawanindak di cari, kok basobok pantang di hindari”. Selain itu ada pula penjelasan lain terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Dalam system ini ibu adalah tempat menarik garis keturunan keluarga. Rumah gadang dibangun berdasarkan berapa jumlah keturunan garis perempuan. Semua kekayaan keluarga akan jatuh kepada keturunan perempuan. Berapa besar jumlah kamar rumah gadang dibuat tergantung kepada berapa jumlah anak gadis mereka. Tak ada kamar yang dibuat untuk laki-laki. Laki laki tidur di ruang tengah, jika sudah agak besar mereka akan menghabiskan waktunya di surau atau lapau atau di masdjid. Anak perempuan yang kawin akan membawa suaminya ke rumah mereka dan tidur di kamar yang sudah disediakan. Di rumah mertuanya, nasib lelaki juga sama; tak punya kekuasaan apa apakarena semua keputusan ada ditangan keluarga perempuan.
Pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah juga salah satu faktor yang menyebabkan laki-laki minang merantau. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang.
Kehiduppan di perantauan menyebabkan perubahan dalam sistem social orang Minangkabau, pertama, menyangkut semakin renggangnya hubungan Mamak, Kemanakan, kedua, semakin kuatnya peranan keluarga batih (extended family) dengan dikuti pula oleh perubahan pola kepemimpinan. Kerenggangan hubungan Mamak didefenisikan bahwa kegiatan merantau menyebabkan para kemanakan yang hidup atau lahir diperantauan kurang mengenal Mamaknya, kamupungnya dan kebudayaannya, atau mereka diberatkan sebagai generasi yang tercabut dari akar kebudayaannya. Ditambahkan pula bahwa jarak sosial yang timbul diperbesar oleh jurang pendidikan antara Mamak dengan kemanakan atau masuknya kebudayaan asing dalam diri kemanakan. Adanya jarak sosial antara Mamak dengan kemanakan, padahal terdapat perkembangan baru yang membuat hubungan tersebut menjadi renggang, terutama menyangkut semakin kuatnya pernan keluarga inti di perantauan. Kebanyakan parantau Minangkabau saat hidup bersama keluarga intinya, dengan kepala rumah tangga bukanlagi Mamak atau orang-orang tua seperti di kampung halaman. Hampir secara keseluruhan setiap keluarga di kepalai oleh suami yang didukung istri yang ikut mengelola rumah tangga. Sering pula dijumpai bahwa istri ikut aktif dalam menunjang ekonomi rumah tangga dengan bekerja bersama suami atau mebuat usaha sampingan.
Beberapa keluarga suku atau kaum kesulitan untuk mencari ninik mamak atau pemimpin kaum yang pandai karena putera putera terbaiknya lebih banyak dirantau.Padahal ninik mamak sebagai kepala kaum lazimnya berada di kampung memimpin kaumnya. Karena tak ada pilihan lain, diangkatlah ninik mamak yang sebenarnya kurang punya wibawa di kaumnya. Dulu posisi itu diperebutkan dalam keluarga, karena ninik mamak punya posisi terhormat di masyarakatnya, tapi kini banyak yang enggan memikulnya karena tidak lagi prestisus. Hal ini dipercepat oleh terjadinya pergeseran tentang apa yang disebut Keluarga. Orang minang bangga menyebut keluarga mereka sebagai keluarga besar. Dalam konsep ini, jika ada seseorang anak-kemenakan, meskipun jauh hubungannya, hidup terlantar maka keluarga besar bertanggung-jawab mendidik dan membesarkannya. Kalau tidak nama keluarga itu akan cacad dimasyarakatnya. Karena itu jika ada yang sukses dalam keluarga itu, maka sukses itu juga akan dinikmati oleh semuanya. Jika dia seorang paman dia selain bertanggung-jawab kepada anak isterinya juga membantu menyekolahkan keponakannya. Tapi sekarang konsep itu telah bergeser. Makna dan fungsi keluarga besar mulai rapuh, akibat pengaruh budaya modern. Muncullah apa yang disebut keluarga inti. Keluarga inti terdiri dari orangtua dan anak kandungnya saja, sebagaimana lazimnya masyarakat modern. Kalau ada saudara diluar keluarga inti hidup susah, maka itu akan dilihat sebagai konsekwensi hidup yang harus ditanggung sendiri oleh yang bersangkutan, meski itu adik atau kakak kandungnya. Budaya hidup barat yang menekankan tanggung-jawab pribadi, mulai terasa dampaknya terutama di rantau. Jika seorang minang tinggal dirantau bersama suaminya yang bukan Orang minang, tentu ia tak dapat memberi izin pada saudaranya menumpang dirumahnya, tanpa izin suaminya.
Kebudayaan Sunda
Setiap masyarakat selama hidup dan perkembangannya selalu mengalami perubahan, baik dari segi nilai-nilai sosial, pola-pola kelakuan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan sebagainya. Demikian halnya dengan masyarakat Sunda, yang sepanjang perjalanan sejarahnya dari dulu hingga sekarang mengalami berbagai perubahan. Salah satu akar kehidupan orang Sunda yang tampaknya dianggap tidak pernah mengalami perubahan ialah pandangan hidupnya.
Tradisi akan berubah seiring dengan proses perubahan yang mengglobal, sehingga dewasa ini, seiring dengan berlalunya waktu, banyak tradisi masyarakat ‘Sunda baheula’ yang tidak dipakai lagi. Kerugian yang terjadi atas hilangnya tradisi itu, menyebabkan banyaknya nilai-nilai kehidupan yang terlepas dan tidak lagi terestafetkan pada generasi mendatang. Mereka akan merasa asing dengan budayanya sendiri, padahal budaya atau tradisi itu adalah miliknya sendiri yang sarat akan makna dan falsafah hidup. Hal itu menyebabkan adanya nilai-nilai tradisi yang hilang di tengah jalan, sehingga generasi kini terlepas dari nilai-nilai yang menjadi pedoman generasi sebelumnya. Nilai-nilai kehidupan yang dijadikan pedoman hidup dalam penanaman kesadaran akan jati diri bagi perkembangan anak (baca : generasi penerus), diberikan dalam simbol yang sederhana. Etika moral yang digambarkan dalam tata kehidupan bagi masyarakat Sunda tertuang dalam kalimat yang sederhana, yaitu : Cageur, bageur, bener, pinter.
Akhir-akhir ini, banyak orang membicarakan masalah pendidikan yang kurang pas bagi anak-anak didik. Ada sementara orang orang yang berangggapan bahwa sistem pendidikan harus diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan pengetahuan yang diperlukan. Pada umumnya orang hanya membicarakan pendidikan formal yang lebih mengutamakan nalar daripada pendidikan dalam arti luas yang dapat membina kepribadian anak didik. Dengan pendidikan, dapat mempersiapkan anggota masyarakat agar siap tanggap dalam setiap tantangan baru. Akan tetapi pendidikan yang ditekankan pada pembinaan nalar harus diimbangi dengan pendidikan yang mengarah pada pembinaan kepribadian. Banyak orang melupakan pendidikan dalam keluarga, teman bermain dan sebaya, maupun masyarakat luas. Akibatnya dapat kita rasakan betapa banyak orang mengeluh. Di sini, mungkin salah satu bentuk tradisi tata asuh tata didik dalam permainan anak perlu digalakkan kembali. Dalam tradisi permainan anak ini tergambar suatu dinamika kehidupan yang natural, yang mampu mengembangkan sikap mental ‘mental attitude’ bagi si anak dalam menghadapi pembaharuan.
Kemajuan ilmu dan teknologi akan menimbulkan dampak sosial budaya yang amat besar. Dalam prakteknya ilmu dan teknologi yang dikuasai oleh nilai-nilai tertentu, menuntut penyesuaian sikap dan pola tingkah laku para pengendalinya. Dan pada akhirnya berdampak pada pergeseran dan bahkan perkembangan etika moral baru dan pandangan hidup tertentu.
Apabila tata asuh tata didik sebagai benteng dan sarana untuk mempersiapkan anggota masyarakatnya siap agar tidak tercerabut dari akar budayanya, maka ilmu dan teknologi yang muncul kemudian dapat disesuaikan dengan etika moral yang ada. Dan diharapkan dapat membantu mempersiapkan kemampuan anggota masyarakatnya untuk menghadapinya sesuai dengan etika moral yang jadi pedoman hidupnya.
Pandangan hidup bagi orang Sunda adalah “konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah hidup di dalam dunia ini”. Sedangkan pengertian orang Sunda dapat diartikan, mereka yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang-orang lain sebagai orang Sunda. orang-orang lain itu baik orang-orang Sunda sendiri maupun orang-orang yang bukan Sunda (Warnaen, dalam Suryani, 1988: 11). Ungkapan tradisional disampaikan oleh penuturnya agar pendengarnya mengetahui mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang dianggap tidak baik. Nilai yang dianggapnya baik itu harus dihindari. Ungkapan tradisional ini sangat estetis, karena mengandung unsur irama dan kekuatan bunyi kata. Hal itu mudah diingat dan tidak mudah berubah. Struktur dan bunyi kata-katanya pada dasarnya tidak berubah dari generasi ke generasi berikutnya. Ungkapan tradisional ini disamping mengandung pesan dana nasihat, terselubung makna dan nilai-nilai moral yang tinggi serta mencerminkan kearifan dari masyarakat penciptanya.
Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan.
Adat istiadat pernikahan orang Sunda di Parahiyangan ‘Jawa Barat’ pada umumnya sama. Namun ada beberapa kekhasan di tiap daerah dalam pelaksanaannya meskipun jelas-jelas bahwa pelaksanaan adat istiadat pernikahan orang Sunda zaman dahulu berbeda dengan adat istiadat pernikahan pada zaman sekarang. Demikian juga dalam masalah ‘perjodohannya’. Pada zaman dahulu adakalanya atau sering-sering seorang anak perempuan ‘dijodohkan’ oleh orang tuanya dengan anak sahabat atau rekannya tanpa sepengetahuan dan persetujuan anaknya. Pada zaman dahulu pun sering terdengar adanya ‘kawin paksa’. Orang tua terkadang tidak mempertimbangkan bagaimana kehidupan anaknya tersebut setelah menjadi ‘suami istri’ di kemudian hari. Yang terpenting bagi ‘si orang tua’, anak perawannya jangan sampai menjadi jomlo ‘perawan tua’ yang akan berpengaruh terhadap kehidupan dan nama baik keluarganya. Maka dari itu, meskipun belum cukup umur, anak perawannya tersebut sudah dinikahkan.
BAB III
HASIL
Hasil wawancara subjek berkebudayaan minang
Bagaimana menurut anda tentang pola asuh pendidikan di Sumatra barat?
Jawab : pendidikan di Sumatra Barat rata-rata masih sangat terbelakang karena kebanyakan orang disana tidak menyelesaikan pendidikannya sampai lulus sekolah. Mereka lebih cendrung untuk merantau kejakarta atau kota-kota maju lainnya untuk mencari uang dan mengadu nasib di kota besar.
Bagaimana pola asuh ekonomi masyarakat padang?
Jawab : perkembangan ekonomi di daerah masyarakat Sumatra Barat Khususnya didaerah dimana yaitu kota Lubuk Buayo maih sangat minim apa lagi dalam segi pembangunan , mereka lebih mengutamakan dalam bidang perkebunan, perikanan, contohnya dalam hal perkebunan masyarakat umumnya menanam kelapa sawit, coklat dan pala wija. Berbeda dengan dijakarta semua serba modern .
Apa mata pencaharian keluarga anda?
Jawab : mata pencarian keluarga saya adalah sebagai pedagang baju dipasar Lubuk Buayo. Usaha ini sudah dijalankan sejak lama oleh keluarga saya dari saya kecil sampai sekarang .
Bagaimana cara anda menentukan pilihan hidup menurut adat dan kebudayaan suku minangkabau ?
Jawab : saya lebih memilih untuk merantau ke daerah-daerah maju seperti Jakarta dibandingkan dengan meneruskan usaha ayah saya berjualan di padang, saya lebih memilih merantau dan berdagang di kota yang lebih maju karena saya ingin mengadu nasib dan melatih diri saya untuk hidup mandiri.
Bagaimana masyarakat padang khususnya anda untuk memilih jodoh ?
Jawab : dikeluarga saya, adat istiadat minangkabau masih ada. Adat membeli laki-laki masih dipertahankan sampai sekarang, semakin tinggi tittle seorang laki-laki maka semakin mahal harga laki-laki itu contohnya harga seorang polisi adalah 50 juta. Sebagai seorang perempuan yang membeli laki-laki tersebut maka kehidupan mereka akan dijamin oleh lelaki tersebut. Maka dari itu saya lebih memilih mencari pasangan hidup dari luar daerah dimana tempat saya tinggal sekarang yaitu kota Jakarta.
Hasil wawancara subjek berkebudayaan sunda
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam memilih pendidikan?
Jawab : pada masyarakat sunda, hak sepenuhnya berada pada orang tua dalam memilih pendidikan. Baik itu SD, SMP, SMA. Jika orang tuanya sarjana, maka ia berhak menentukan pilihan Perguruan Tinggi pada anaknya.
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam hal ekonomi?
Jawab : dalam hal ekonomi, orang tua berkewajiban memberikan dan memenuhi kebutuhan anaknya dari mulai kecil. Bahkan saat anak telah menikahpun, orang tua masih menopang ekonomi keluarga anaknya sejauh anaknya tidak mampu. Orang tua membuatkan ruamh untuk anaknya, bahkan ada juga yang berbagi dengan anaknya (dalam rumah terdapat dua kepala keluarga). Ini tidak berhenti disitu saja. Melainkan sebelum orang tua meninggal biasanya sudah membagikan hartanya kepada anak-anak merekea. Salah satu tujuannya yaitu kelak ketika mereka meninggal tidak meninggalkan masalah bagi anak-anaknya.
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam hal menentukan jodoh?
Jawab : dalam memilih pasangan hidup untuk anaknya, orang tua juga berperan. Bahkan bagi anak perempuannya, orang tua berhak memilihkan siapa yang menjadi suaminya.
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam memilih profesi?
Jawab : dalam pemilihan profesi, orang tua sunda itu memfasilitasi anaknya. Contoh: jika profesi orang tua sebagai pengusaha, biasanya orang tua memfasilitasi anaknya untuk membuka usaha. Hal ini bertujuan untuk melanjutkan profesi orang tuanya. Dengan kata lain anak dipaksa seperti orang tuanya.
Bagaimana pola asuh masyarakat sunda dalam menentukan tujuan hidup?
Jawab : dalam hal ini pun peran orang tua masih sangat besar. Orang tua cenderung akan mengarahkan anaknya untuk hidup seperti apa dan menjadi apa. Maka orang sunda banyak sekali yang manja dan tergantung dengan orang tua, sehingga mereka tidak berani. Oleh karena itu, masyarakat sunda lebih memilih untuk tinggal di lingkungannya dengan kerabat mereka disbanding tinggal berjauhan. Salah satu alas an juga masyarakat sunda menetap karena lingkungan sunda yang memfasilitasi, dalam hal sumber daya alam wilayah sunda sangat kaya. Maka mereka tidak usah memilih pergi jauh dari lingkungan dimana ia dibesarkan.
KESIMPULAN
Pola asuh keluarga berpengaruh untuk membentuk anak nantinya, hal ini juga yang membedakan anak dari turunan minang dan anak dari turunan sunda. Anak dari turunan sunda cenderung tidak percaya diri, karena dia sedari kecil bahkan ketika ia dewasa pun masih bergantung pada orang tua. Berbeda dengan anak dari turunan minangkabau yang cenderung berani, karena ia di didik untuk mandiri dengan tradisi merantaunya.
Ada beberapa alasan dibalik tradisi merantau. Lingkungan minangkabau yang kurang dengan sumber daya alamnya menjadi salah satu alasan masyarakat minangkabau untuk pergi merantau, berbeda dengan lingkungan tatar sunda yang sumber daya alamnya melimpah, maka masyarakat sunda sedikit yang pergi merantau ke daerah-daerah lain.
Daftar Pustaka
Ensiklopedi Sunda. 2000. Jakarta: Pustaka Jaya.
KATO, TSUYOSHI. 1982. Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
KATO, TSUYOSHI. 2006. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Balai Pustaka, Jakarta.
Suryani NS, Elis. 2007. Keanekaragaman Budaya Sunda Buhun. (Makalah Penlok Budaya Sunda & Sosialisasi Sertifikasi Bagi Guru. Tasikmalaya: Kerja Sama Dinas Pendidikan Kota&Kabupaten Tasikmalaya dengan FKIP Universitas Siliwangi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar